Minggu, 25 Maret 2012

Kosmologi Big Bang | kajiannya (bag. 1)

Pembicaraan masalah asal-usul jagad raya sedikit mirip dengan persoalan lama yang bunyinya mana lebih dahulu ayam atau telur? Pertanyaan yang sering muncul juga mungkinkah jagad raya atau sesuatu yang menciptakannya sudah ada selama-lamanya dan tidak perlu diciptakan?

Tidak seorangpun di abad ke-17, ke-18, ke-19, atau awal abad ke-20 menyatakan bahwa alam semesta mungkin berubah terhadap waktu. Baik Newton maupun Einstein kehilangan kesempatan untuk meramalkan bahwa alam semesta bisa mengerut atau memuai.



Orang jelas tidak dapat menyalahkan Newton, karena ia hidup dua ratus lima puluh tahun sebelum pemuaian alam semesta ditemukan melalui pengamatan. Tetapi Einstein harusnya jauh lebih tahu, teori relativitas umum yang dirumuskannya pada tahun 1915 memprediksikan bahwa alam semesta memuai. Namun ia berpegang pada keyakinan bahwa alam semesta statis, sehingga menambahkan sebuah unsur dalam teorinya untuk menyesuaikan prediksi di atas dengan teori Newton dan menyeimbangkan efek gravitasi.

Berbicara tentang kosmologi menyangkut dimensi panjang daerah pengamatan yang sangat ekstrim sekali. Menurut analisa teori yang ada, fisika sub-nuklir orde daerah pengamatannya akan lebih kecil daripada 10-1 4cm, sedang kosmologi adalah sekitar 10 2 8cm. Dengan gambaran ini, maka segera dapat dipahami betapa sulitnya memperoleh data eksperimental pengamatan, sehingga sulit sekali menetapkan fakta yang sesungguhnya.

Bayangkan saja, suatu obyek yang memancarkan cahaya sendiri, misalnya dari ‘pusat’ alam semesta ke ‘tepinya’ maka dengan mengingat cahaya merambat dengan dengan kelajuan 3x10 8cm/detik, akan diperlukan waktu (setelah diadakan pembulatan angka) sekitar 10 1 0 tahun. Dengan gambaran di atas. Sangat disadari bahwa apa yang akan diketengahkan berikut ini sangat spekulatif, namun ada juga di antaranya yang benar-benar telah merupakan fakta.

Kita mulai dengan mengemukakan pertanyaan, bagaimana model alam semesta menurut konsep kosmologi yang ada, hanya ada dua yang telah memiliki analisa perumusan yang siap untuk di uji dengan fakta eksperimental. Yang pertama ialah apa yang dinamakan “model ledakan Big-Bang” yang dimajukan oleh Friedman. Yang kedua ialah apa yang dinamakan “model stedy-state (keadaan tetap)” yang dimajukan oleh H. Bondi, T. Gold dan F. Hoyle; yang merupakan tandingan bagi konsep Friedman.
Terlepas daripada perbedaan antara kedua model ini, keduanya menerima adanya peristiwa ledakan Big-Bang dalam proses pembentukan materi alam semesta. Ledakan itu dilukiskan demikian dahsyatnya, maka butir-butir alam semesta itu masih terus saja bergerak keluar sekalipun antar materi itu bekerja gaya gravitasi. Dengan demikian kedua model merima, bahwa materi alam semesta itu bergerak mengembang ke luar (expanding universe).

Adapun perbedaan kedua model itu, menurut Friedman, ledakan Big-Bang itu hanya satu kali saja dan sesudah itu tidak lagi, sedang menurut model Bondi et. al., ledakan Big-Bang itu terus saja berlangsung setiap ‘kala waktu tertentu’ sehingga saat sekarang ini dan itu terjadi dengan ‘sendirinya’. Berdasarkan keterangan tersebut segera kita mengetahui konsekuensi kedua model itu. Dalam hal ini, karena keduanya menerima bahwa alam semesta ini mengembang, maka untuk model Big-Bang Friedman niscaya rapat massa (massa jenis) materi rata-rata alam semesta akan makin mengecil.
Sebaliknya dalam konsekuensi model Friedman di atas, untuk model Bondi et. al., karena kekosongan ruang akibat proses pengembangan materi alam semesta. Maka dengan terus terjadinya penciptaan materi yang dibarengi dengan ledakan, ruang kosong itu akan terisi, dengan materi baru, sedemikian rapat materi rata-rata alam semesta akan tetap keadaannya; sehingga atas dasar itu disebut model steady state. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa titik-titik lemah kedua model kosmologi itu? Terhadap model Friedman, karena ledakan itu hanya sekali saja, maka dengan berkembangnya materi alam semesta keluar ruang yang ditinggalkannya akan menjadi hampa sama sekali, yang akibatnya dalam skala besar niscaya terdapat kekosongan mutlak materi di daerah ‘bagian dalam’ alam semesta hal mana sulit dapat diterima, bukan hanya dari sudut konsepsi, melainkan semestinya telah dapat diamati dan ditemukan sekarang ini jika memang demikian.

Terlepas daripada itu semua, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dipertanyakan ialah, apakah gagasan alam semesta bergerak mengembang keluar juga hanya sekedar model spekulatif? Ini sungguh sangat menarik, karena ternyata gagasan ini bukanlah spekulasi bagi, melainkan telah merupakan fakta eksperimental. Hal ini disimpulkan dari kenyataan, bahwa apabila alat yang disebut radioteleskop yang pada dasarnya merupakan antara parabola yang dirancang hanya sangat sensitive terhadap daerah sedang frekuensi tertentu, kalau diarahkan kesegala arah ruang yang mungkin dihadapinya, maka akan diamati bahwa frekuensi yang diterimanya selalu tergeser ke arah frekuensi yang lebih kecil buat sinyal frekuensi yang datang berikutnya dengan lebar pergeseran yang sama buat segala arah – bahkan fakta serupa itu telah diamati di tempat-tempat pengamatan radio-teleskop yang beda dimuka bumi dengan data yang sama – sejauh menyangkut batas ketelitian aksperimental.

Efek ini, dalam fisika gelombang dikenal sebagai efek Doppler. Menurut efek ini, suatu sumber sinyal gelombang yang memancarkan frekuensi gelombang tertentu, bila digerakkan dengan kelajuan tertentu menjauhi pengamat, maka akan teramati bahwa frekuensi yang diterma akan mengecil dengan pergeseran frekuensi tertentu pula; dan sebaliknya bila digerakkan mendekati, akan membesar. Karena menurut data radio-teleskop yang dikemukakan diatas menunjukkan terjadinya proses pengecilan, maka ditafsirkan, materi alam semesta ini mengembang keluar dengan laju gerak yang dapat diukur.

Penemuan ini sungguh sangat penting artinya bagi kosmologi, karena dengan penemuan itu, sebagai salah satu kajian dalam bidang astronomi yang khusus membahas keadaan fisik alam semesta secara keseluruhan.